Thursday, August 14, 2014

“Pak Haji..!” Seseorang berteriak. Entah kepada siapa. Saya tetap berjalan. Ternyata teriakan itu semakin kencang. Terpaksa menoleh dan terlihat teman serombongan memanggil-manggil saya. Oh, dia memanggil saya rupanya. Ketika di Mekkah dan Madinah memang ada sesuatu yang baru dan aneh didengar telinga saya. Panggilan Haji itu. Ya panggilan yang biasa disematkan kepada orang yang telah melaksanakan haji. Saya tidak terbiasa.
Walau sebelum berangkat pergi haji, ada yang selalu memanggil saya dengan sebutan itu di kantor, saya anggap sebagai sebuah doa. Begitu pula saat seorang bapak pengatur lalu lintas di pintu keluar komplek akan berkata: “Terima kasih Pak Haji,” ketika ada uang seribu rupiah berpindah ke tangannya, saya anggap sebagai sebuah doa. Alhamdulillah doa mereka terkabul, saya bisa pergi haji.
“Bu..! Bu…! Bu Rahmi…!” seseorang memanggil kepada ibu-ibu itu. Ibu itu tidak menengok sama sekali. “Bu Haji! Bu Haji Rahmi!” perempuan yang bernama Rahmi itu berhenti dan menengok dengan senyum yang begitu sumringah dan berkata kepada yang memanggilnya, “Nah gitu dong, Haji itu mahal.” Aih… segitunya. Tetapi itu gurauan yang sering didengar saat berangkat haji. Kepada yang punya nama Rahmi mohon jangan tersinggung. Ini sekadar contoh.
Kenyataannya? Ada juga memang yang tidak menengok kalau tidak dipanggil dengan sebutan haji di depan namanya. Wah…wah…wah…Insya Allah saya tidak seperti itu. Tetapi saya selalu berusaha memanggil seseorang, tetangga ataupun teman yang telah pergi haji dengan sebutan itu. Bukan untuk apa-apa tetapi sebagai bentuk penghormatan saya kepadanya. Tidak berniat untuk membuatnya ujub atau merasa riya’dan sum’ah.
Jikalau ada seorang ustadz dan ia pun telah berhaji, saya lebih berat memanggilnya dengan sebutan ustadz saja, karena menurut saya panggilan ustadz itu lebih berbobot daripada sebutan haji. Menandakan ia orang yang alim dan berilmu. Tidak semua orang yang haji berilmu bahkan kita tahu di pemberitaan kalau 70% dari jama’ah haji Indonesia tidak atau kurang tahu tentang manasik haji.
Walaupun demikian mengapa sebutan haji itu saya sematkan pada mereka sebagai bentuk penghormatan? Karena bagi saya, secara zahir mereka telah benar-benar mengeluarkan pengorbanan yang begitu banyak untuk bisa ke tanah suci. Mulai dari harta, diri mereka, dan keluarga. Ibadah haji itu berat. Perlu tenaga fisik yang prima untuk menyelesaikannya dengan penuh kekhusu’an. Banyak cobaannya. Terutama ujian kesabaran sampai ambang batasnya. Saya merasakannya sendiri.
Maka tak perlu heran, kalau di zaman penjajahan dulu atau sebelum era transportasi modern seperti sekarang ini, orang yang pergi haji dihormati sekali karena untuk perjalanannya saja sampai butuh waktu berbulan-bulan lamanya bahkan sampai hitungan tahun. Entah dengan naik unta, kuda, atau kapal laut. Penjajah Belanda pun sering mewaspadai orang yang telah pergi haji karena seringkali mereka adalah pionir kebangkitan perlawanan terhadap kepentingan kolonial.
“Enyak, memanggil saya dengan Pak Haji atau enggak, enggak ada bedanya Nyak, enggak berubah Insya Allah,” kata saya pada Enyak yang telah lama bekerja di keluarga kami. “Ah, enggak Pak Haji. Pamali,” katanya.
“Orang zaman sekarang pada bangga dengan gelar keduniaan. Doktor, profesor, sarjana berderet di depan dan belakang namanya tapi enggan dengan gelar atau panggilan haji,” kata salah seorang tetangga kampung sebelah yang bertamu di rumah kami. Ia belum pergi haji dan tetap memaksa saya dengan sebutan Pak Haji. Memang di kampung sebelah yang mayoritas Betawi itu panggilan haji terasa begitu sakral. “Enggak semua orang bisa pergi haji,’ lanjutnya lagi. Terserah Bapak sajalah. Yang penting saya tidak memaksa Bapak untuk memanggil saya dengan sebutan itu.
Sebutan dan panggilan itu bagi saya—dan entah buat orang lain—memang rawan untuk terjadinya ‘ujub, riya’, dan sum’ah. Tetapi saya tentunya tidak bisa memaksa mereka untuk menghentikan sebutan itu. Karena semua itu kembali kepada diri masing-masing. Sering-seringlah istighfar ketika memang ada terselip itu saat kita tidak dipanggil dengan sebutan Pak atau Bu Haji.
Makanya ada yang mengetatkan bahwa panggilan atau gelaran haji itu bid’ah. Bagi saya tak masalah. Artinya sampai mewajibkan orang lain untuk memanggil dirinya dengan sebutan itu, memang bisa terjerumus ke arah itu. Tetapi enggak bisa dong ketika ada yang memanggil saya Pak Haji lalu mereka dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Waduh ini keterlaluan banget deh. Berlebihan.
Sebutan haji memang enggak ada di zaman nabi dan para sahabat. Tetapi sering kali kita menyebut-nyebut seseorang dengan sebutan syaikh, hujjatul Islam, ustadz, al hafidz, padahal di zaman nabi dan para sahabat sebutan itu pun juga tidak ada. Enggak ada tuh Ustadz Abu Bakar Assyidiq, Syaikh Umar bin Khatthab, Hujjatul Islam Utsman bin ‘Affan, Ali Al Hafidz, padahal di zaman sekarang banyak disematkan juga sebutan itu kepada orang-orang seperti Syaikh Fauzan, Ustadz Firanda, Hujjatul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Assudais Al Hafidz.
Kalau ada yang mengatakan bahwa panggilan haji berkaitan dengan agama maka panggilan syaikh, hujjatul Islam, ustadz, dan al hafidz juga berkaitan dengan agama pula. Dan jika memang panggilan haji itu adalah laqab-laqab yang tidak syar’i dan bertentangan dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka saya bisa saja mengatakan bahwa sebutan syaikh, hujjatul islam, ustadz, al hafidz juga adalah laqab-laqab yang tidak syar’i dan bertentangan dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Padahal masalah keikhlasan adalah masalah batin. Saya tak tahu apa isi terdalam di hati mereka.
Bahkan panggilan yang berkaitan dunia dan tidak ada kaitannya dengan agama sama sekali, bisa jatuh pada hal yang haram jika hanya akan membuat diri kita kurang ikhlas dalam beramal, timbul rasa sombong dan ‘ujub.
“Za, bukan mereka yang menghendaki sebutan syaikh, ustadz, hujjatul islam, al hafidz, tetapi para pengikut atau umatnya yang menghormati mereka,” mungkin ada orang yang akan berkata demikian. Jika demikian mengapa khusnudzan itu juga tidak kita berikan kepada orang-orang yang telah pergi haji? Bukan mereka, Pak Haji dan Bu Haji, yang menghendaki sebutan haji itu tetapi masyarakat dan tetangga yang menghormati mereka.
Bagi saya, masalahnya bukan pada bahwa gelaran haji itu berkaitan dengan masalah agama atau dunia, atau bukan pula bahwa hal itu ada di zaman nabi dan para sahabat atau tidak, tetapi akankah mengakibatkan terhapusnya amal-amal kita atau enggak?
Makanya betapa banyak juga dari mereka, mengutip Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an, memilih untuk tidak menggunakan gelar-gelar kesarjanaan, keulamaan, maupun Haji/Hajjah, demi menghindari riya’ dan kesombongan. Dan hanya menggunakannya pada saat yang diperlukan misalnya untuk kepentingan administrasi saja. Sehingga tidak serta merta kita latah mengatakan mereka yang menyematkan semua gelaran itu sebagai ahlul bid’ah. Hanya Allah dan diri mereka yang dipanggil atau menyematkan dengan sebutan itu, yang tahu apakah mereka riya’ atau tidak.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja sebagai sebuah peringatan apakah saya memang layak untuk disebut itu, jika tingkah laku saya jauh dari apa yang diharapkan oleh agama ini.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja sebagai sebuah pembatas atau pengekang, untuk tidak melakukan apa-apa yang dilarang oleh agama ini. Kalau ingat satu hal ini maka saya jadi malu. Malu banget. Tak layak sekali.
Bagi saya, jika saya dipanggil Pak Haji, anggap saja sebagai sebuah muhasabah, sarana introspeksi diri, apakah haji saya diterima oleh Allah? Saya tentu berharap sekali demikian. Dan tentu pula panggilan itu tak sebanding dengan penerimaan Allah.
Bagi saya, jika saya baru nengok jika dipanggil Pak Haji atau berasa gimana gitu kalau tidak dipanggil hanya dengan nama saja, maka cukup alarm itu sebagai tanda riya’. Semoga saya masih bisa diberikan kesempatan untuk mengucapkan istighfar pada saat itu juga.
Bagi saya, lebih memilih tidak dipanggil Pak Haji untuk menjaga semua itu. Tetapi eits…jangan-jangan kalimat pertama di paragraf ini pun layak untuk di-istighfar-i, hanya sekadar supaya bisa disebut orang yang tawadhu atau rendah hati. Aduhhh… kemana-mana salah. Kemana-mana setan mengintip. Lindungi saya ya Allah.
*
Kertas tanda terima peminjaman dokumen itu ada di depan saya. Siap untuk diteken. Teman saya sudah berdiri menunggu untuk menerima kertas itu. Saya tanda tangani, saya beri tanggal, saya beri nama: Riza Almanfaluthi di bawah tanda tangan. Saya berhenti sejenak, terus bertanya, “Min, perlu saya tulis H di depan nama saya atau tidak nih?” What the, hahaha…

***
Salah satu doa yang sering kali saya panjatkan saat mau pergi ke tanah suci adalah semoga Allah memberikan teman-teman satu rombongan dan satu kamar yang baik-baik dan menjadikan saya juga teman yang baik buat yang lain. Alhamdulillah terkabul.
    Saya sekamar dengan tiga orang lainnya. Kamar saya ini terletak di lantai 9. Di sebuah flat di sektor 11, di daerah Misfalah-Bakhutmah yang jaraknya lebih dari 2 kilometer dari Masjidil Haram. Saya sebut flat tidak hotel, karena menurut saya tempat yang kami tempati selama 30 hari di Mekkah ini bukan standard hotel. Yang benar-benar standard hotel itu kalau kita menginap di Madinah.
    Ada beberapa cara pergi ke Masjidil Haram dari sektor kami ini. Jalan kaki bisa. Perlu waktu 35 menit jalan cepat untuk sampai ke sana. Atau naik omprengan berupa pick up (mobil bak) dengan harga 2 SAR. Kita bediri kayak kambing di belakang. Saya sarankan jangan naik ini. Karena banyak kejadian jamaah haji yang terjatuh dari mobil.
Atau pilih mobil jenis Colt atau Elf. Harganya sama. Ini cukup aman. Kita masuk dan duduk di dalam mobilnya dan tidak berdiri. Kalau mau menjelang hari hajinya, mobil ini tidak sampai ke tempat terdekat masjid, tetapi paling sampai batas ring road. Mobil berhenti di situ. Karena dilarang masuk oleh polisi sana dan juga jalanan sudah macet, cet. Jadi kita kudu jalan lagi sekitar satu kilometer untuk sampai Masjidil Haram.
    Atau naik bus gratis yang disediakan Pemerintah RI. Tapi ini harus rebutan dengan jamaah haji Indonesia yang lain. Harus sabar juga. Harus bisa jaga hati. Jaga mulut. Karena kalau enggak sabar bisa-bisa terjadi pertengkaran di sini. Dan jangan lupa kalau sudah mendekati hari-hari hajinya, bus tidak disediakan, karena jalanan padat. Kalau tidak salah 5 hari menjelang hari haji mobil bus sudah hilang. Dan mulai disediakan lagi saat 7 hari setelah tanggal 13 Dzulhijjah saat jalanan ke Mekkah sudah mulai berkurang kepadatannya.
    Yang dari Bakhutmah dan Misfalah kalau naik bus gratis Pemerintah RI ini tidak bisa langsung ke tempat dekat Masjidil Haram, tapi cuma mengantarkan kita ke Terminal Bus Kuday. Kita diturunkan di sini. Nah, ke Masjidil Haramnya naik apa? Ya kita naik Bus lagi. Bus yang disediakan oleh Pemerintah Arab Saudi atau maktab atau penyelenggara haji di sana, entah siapa. Bus ini benar-benar sampai di terminal di bawah Menara Jam. Dekat banget dengan Masjidil Haram.
    Kalau kita naik bus dari Kuday, maka kita, jamaah haji Indonesia, akan berhadapan dengan jamaah haji dari Afrika, Turki, Pakistan, dan India. Mereka itu tinggi besar. Baik laki ataupun perempuannya. Siap-siap juga kita disikut dan dilompati oleh orang-orang hitam yang berbadan kekar kayak Hulk itu. Hulk mah warnanya hijau yah…
    Silakan pilih moda transportasi yang mau dipakai. Yang terpenting jaga kesabaran. Ingatlah misi haji yang sedang kita lakukan. Kalau saya sih pilih moda Bus ke Kuday itu. Yang penting lagi adalah pada saat pulangnya. Akan banyak ribuan orang yang berebut bus kalau setelah sholat. Supaya aman kalau mau pulang cepat, maka cari tempat sholat yang dekat dengan terminal. Ketika salam langsung cabut. Atau tunggu setengah jam sampai satu jam setelah sholat. Insya Allah masih masuk di akal rebutan busnya. Saya sering pilih yang kedua. Menunggu saja.
    Biasanya kalau sudah mulai sepi di hari-hari akhir jamaah haji pulang ke tanah air atau mau pergi ke Madinah, supir-supir Bus di Kuday itu akan memuji-muji penumpang Indonesia. “Indonesia hajj bagus…bagus…,” kata mereka sambil angkat jempol. Ujung-ujungnya kalau sudah sampai di tempat tujuan mereka akan mengangkat telunjuk menandakan angka satu.
Mereka minta infak kepada kita satu reyal untuk setiap penumpang. Dan jamaah haji Indonesia terkenal royal serta tidak pelit. Terserah Anda mau kasih atau tidak. Memberi mereka dapat pahala. Tidak memberi juga tidak berdosa. Kebanyakan supirnya berkewarganegaraan Arab tetangga Arab Saudi seperti Yordania, Suriah, Mesir, dan lain-lain. Bukan orang Bengali.
Ohya, ini flat tempat rombongan kami menginap selama di Mekkah pada musim haji 2011.
(Flat kami dilihat dari satelit di luar angkasa, maksudnya pakai google maps)
Syukurnya flat kami ini habis di renovasi. Masih bagus. Tidak kumuh. Tidak gelap. Walau teknologi liftnya tertinggal jauh dengan yang ada di Indonesia. Dan gambar di bawah ini adalah pintu gerbang flat kami.
 

(Suasana saat mau pergi ke Madinah)
    Kamar kami diisi oleh 4 orang. Semua masih dalam satu regu.

(Ini suasana kamar kami sesaat setelah packing dan tinggal berangkat saja ke Madinah)
Dan gambar di bawah ini adalah ranjang saya yang ditempati selama 30 hari di Makkah Al Mukarramah. Tempat saya biasa mimpi dan ngangenin banyak orang di tanah air. Sudah disediakan sprei, bantal dengan sarungnya, dan satu lembar selimut. Kok ada selimut? Bukankah suasana di sana panas? Panas sih panas. Tapi kalau di dalam mah pakai AC. Dingin juga kan? AC-nya kalah canggih dengan AC yang di Indonesia. Coba lihat.

Berikut teman-teman baik saya yang sekamar itu:

Pak Rasyid dan Ibu sedang makan jagung di suatu senja di Jeddah, depan Masjid Terapung. Orang pertama dalam rombongan kami yang mencium hajar aswad. Pengusaha pertambangan yang bersahaja.

Abah Imay dan ibu. PNS DKI dan pengusaha pakaian jadi di Kota Bogor. Orangnya lucu dan humoris.

Dan Pak Tommy, ketua regu kami, alumnus ITB.
Maaf Pak Tommy, enggak saya crop bersama ibu karena pixel fotonya kegedean. J
    Sering kali kalau saya ingat Makkah alMukarramah saya jadi ingat mereka. Empat puluh hari menjadi saksi perjalanan persaudaraan haji kami. Tentunya saya berharap bahwa walau kami berpisah setelah perjalanan itu, Allah akan kumpulkan kami di surganya Allah swt. Ini harapan saya terbesar. Amin.
    Yakin juga ya…kalau perjalanan ke sana, ke dua kota bersejarah itu, adalah perjalanan yang paling tidak bisa dilupakan. Ngangenin…seperti aku yang selalu ngangenin kamu…cie…cie…cie…cie…cie… adaw…adaw…adaw.
    Maka segeralah ke sana.
***
 
 
Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara 

Salam sayang Desa Misfalah...

Hari ini, bangkit ari tidur dengan suasana asing dan berbeza. Berbeza dari temapt dan waktu. Berbeza benar dari  kebiasaam.
 Salam sayang Desa Misfalah. Juga desa-desa yang dinaungi pohon kurma dan meliputi Dhahran, Uranah, Dlajnan, dan Rajih dan desa-desa lain di sekitarnya dalam linkungan kota suci Mekah.

Hari ini masih termangu-mangu bagai mimpi. Masih dengan rasa tidak percaya. Sebuah kesempatan dan rezeki yang tidak disangka-sangka boleh berada di sini. Sebuah desa sesak manusia berhimpun dengan harapan masing-masing tapi masih dengan tujuan yang satu.

Dari hari pertam ke hari-hari berikutnya, Misafalah masih kekal seperti itu... Padat manusia berbuk dan debu, susun atur yang tidak teratur... Panas gersang pada musimnya, sejuk mendingin pula pada musimnya.. penjaja-penjaj jalanan yang sentiasa waspada dari serbuan pihak berwajib, wanita-wanita berhijab hitam peminta sedekah yang sangat terdesak dan meminta-minta, deretan kedai-kedai jubah, restoran nasi mandy, kawanan besar merpati yang sentiasa kekenyangan...

Situasinya tetap sama.. cuma, dari hari ke hari menjelang ke waktu Hari Haji Besar, jemaah semakin berpusu-pusu... ramai dan sesak. Datangnya dari segenap negara sekeliling dunia.

Misfalah mengajar aku banyak perkara utama. Perkara tentang kehidupan, persahabatan, persaudaraan, setia kawan, kesabaran, kecekalan, perjuangan, jati diri, berdikari... Memperlihatkan aku kepada hati-hati yang rapuh dan hati-hati yang teguh. Ragam manusia yang sebenar.

Derap-derap telapak kaki yang keras menaikkan debu-debu tanah menaikkan bau yang aku rindu hingga kini. Bau tanah Haram kota suci

Sunday, June 30, 2013

Sebagai seorang yang langsung tidak bersedia, dan tidak menjangka akan menunaikan haji pada tahun ini, ada satu perkara yang saya kira menjadi masalah kepada saya - Saya tidak pernah walau sekali pun mengikuti kursus bersiri haji yang di anjurkan oleh mana-mana pihak. Tidak pernah langsung.berbanding Ma yang mengikuti kursus tersebut setiap tahun sejak 5 tahun kebelakangan ini. Bagi orang yang tidak berniat untuk menunaikan haji dalam jangka masa terdekat seperti saya, bukan sekadar itu, akaun Tabung Haji juga masih belum ada, untuk apa saya mahu sertai kursus-kurus haji bersiri tersebut. Pada saya kursusu yang diadakan memang perlu dihadiri oleh mereka-mereka yang mahu dan telah sedia untuk menunaikan haji, sedangkan saya pula sebaliknya. Semuanya berlaku secara tiba-tiba.

Keadaan ini juga merisaukan. Saya masih tidak tahu apa-apa tentang hal Haji. Jahil sangat. Mungkinlah ada beberapa hal-hal biasa tentang haji ini saya tahu, itu pun merujuk pada apa yang dipelajari ketika di zaman sekolah menengah dahulu untuk subjek agama Islam. Itupun telah banyak yang dilupa.

Saturday, June 29, 2013

Menerima tawaran untuk menunaikan haji dalam keadaan yang langsung saya tidak bersedia memang merunsingkan. Tidak bersedia dari segenap sudut. Mental, fizikal, malah dari segi wang ringgit sekalipun. Saya mengisi borang haji, setelah emak mendapat surat 'terpilih' sebagai jemaah haji bersama Tabung Haji pada tahun itu. Emak di berikan borang untuk diisi samada mahu menerima atau menolak tawaran tersebut. Tetapi mana mungkin emak mahu menolak setelah bertahun-tahun lamanya menunggu peluang itu. Untuk itu, emak pelu mengisi satu bahagian borang untuk memberitahu Mahram yang akan pergi bersamanya kerana Ma adalah ibu tunggal dan pihak Tabung Haji memberi peluang kepada Ma untuk memilih Mahram untuk menjaga kebajikan Ma ketika di Tanah Suci.

Ketika ditanya siapa yang akan menemani Ma, saya tidak terus menawarkan diri. Membuka ruang kepada adik beradik yang lain dahulu kalau-kalau ada yang mahu menamani.Ada beberapa sebab yang membuatkan saya tidak terus menawarkan diri. Pertamanya, saya sebagai anak yang ke empat dalam adik beradik, punya tiga orang abang lagi di atas saya, jadi biarlah yang lebih tua dahulu diberikan hak tersebut. Keduanya, saya memang tidak bersedia...Langsung. Malahan keinginan saya untuk ke tanah suci pun tidaklah terlalu kuat saya rasakan. Hanya keinginan yang biasa-biasa sahaja. Malahan, buku akaun tabung haji pun saya tidak punya. Sedangkan untuk mengisi tempat sebagai Mahram kepada jemaah yang terpilih syaratnya adalah perlu mendaftar Haji terlebih dahulu. Iaitu, bukan setakat perlu ada akaun Tabung Haji, tetapi perlu ada simpanan sekurang-kurangnya RM1300.00 dia dalam akaun. Dengan kata yang lebih mudah, saya kurang berminat untuk menunaikan Haji dalam usia saya yang masih agak muda. Kalau saya mahu pergi pun, biarlah pada usia saya 50 tahun dan ke atas. Begitu!!

Namun begitu, dalam keadaan tidak berapa berminat, saya tetap membuat keputusan kalau tidak ada sesiapa yang mahu menemani Ma, tidak mengapalah... Biar saya yang mengisi tempat tersebut. Tetapi kalau ada sesiapa yang mahu, biarlah orang yang mahu itu mengambil peluang itu.

Akhirnya... Along tidak dapat pergi, kerana punya keluarga dan keperluan untuk keluarga perlu diutamakan memandangkan Along juga tidak bersedia dari segi wang ringgit. Abang Ngah juga begitu. Alang walaupun masih tidak berumahtangga juga tidak mahu menerima, masih atas alasan masalah keewangan. Adik saya juga tidak mahu atas alasan keluarga dan kewangan. Apatah lagi isterinya baru melahirkan anak. Begitu juga adik-adik yang lain, walaupun masing-masing nampak berminat, tetapi tawaran tersebut datang secara tiba-tiba di mana keadaan masing-masing langsung tidak bersedia mental dan fizikal.

Begitulah caranya Allah mahu memberikan rezeki itu kepada saya. Seperti yang saya persetujui, sekiranya tidak ada sesiapa yang mahu mengambil peluang tersebut,biarlah saya yang menemani Ma ke tanah suci menunaikan ibadah haji tahun itu.

Nama saya telah diisi sebagai mahram yang akan menemani Ma. Saya perlu membuka akaun tabung Haji dan mendaftar haji dengan kadar segera sebelum borang tanda persetujuan untuk menerima tawaran haji tersebut Ma pulangkan ke Tabung Haji Bahagian. Setelah itu satu surat rayuan juga perlu dihantar ke Tabung Haji. Semua peraturannya saya telah lakukan. Membuka akaun dengan jumlah simpanan yang genap-genap untuk saya mendaftar haji.  Membuat surat rayuan untuk menjadi Mahram dan meyerahkan kepada pihak Tabung haji, kerna begitulah peraturannya. kemudian berserah kepada Allah,agar diberi peluang.

Tempoh saya menunggu tidak lama. Malahan saya tidak menunggu pun. Tidak menaruh harapan yang tinggi. Tetapi caranya memang begitu, sesiapa yang mendaftar haji atas dasar untuk menjadi Mahram kepada Jemaah haji yang telah terpilih, dia akan terpilih sama pada tahun tersebut. InsyaAllah. Saya mendaftar Haji pada bulan Januari 2013, pada bulan Mac tahun yang sama saya telah terpilih sebagai Haji. Tidak sampai 3 bulan pun. Kalau diikutkan waktu yang sebetulnya mengikut tarikh daftar haji, saya sepatutnya diterima menunaikan haji bersama tabung haji pada tahun 2057.. Allahu Rabbi!!  40 tahun lagi dari tarikh daftar haji tersebut. Lambatnya. Tapi itulah. Kalau sudah ditetapkan rezeki. Allah permudahkan. tempoh 40 tahun menjadi satu tempoh tidak sampai 3 bulan pun. Alhamdulillah. Allah juga penentu segalanya.

Saya dipanggil ke Tabung Haji Daerah Maran untuk mengambil surat tawaran dan surat menjawab samaada setuju atau tidak menerima tawaran tersebut. Oleh kerana masa yang suntuk, kerana saya telah dipilih sebagai Mahram kepada jemaah yang terpilih yang telah menghantar borang sejak hampir 3 bulan yang lalu, pihak Tabung haji sendiri tidak punya masa lagi untuk proses penghantaran melalui pos seperti kebiasaan. Untuk itu saya perlu mengambil sendiri segala surat surat dan dokumen-dokumen yang berkenaan.

Pada ketika itu, wang simpanan saya hanya ada 2000.00 sahaja di dalam akaun Tabung Haji... Timbulah satu masalah, yang mana untuk menjawab saya menerima surat tawaran tersebut, saya perlu memenuhkan jumlah keseluruhan harga untuk menunaikan haji pada tahun tersebut. Nilainya setelah ditolak dengan subsidi dari kerajaan, ialah 9980.00. Dan jumlah itu perlu disediakan dalam tempoh 5 hari sahaja bermula dari tarikh saya mengambil surat tawaran. 5 hari masa diberi kerana saya memang perlu menjawab samaada untuk menerima tawaran tersebut sesegera yang mungkin...

Hati mula runsing. Dengan simpanan yang baru mengjangkau RM 2000.00, dan tempoh diberi untuk menjawab hanya 5 hari, dan untuk menjawab saya perlu memgenapkan simpanan menajadi 9980.00. Beerti, saya perlu mencari 7980.00 lagi hanya dalam tenpoh tidak sampai satu minggu. Terasa bagai harapan tidak akan kesampaian buat seketika. Mana saya mahu cari wang sejumlah itu. Jika tempoh diberi lebih panjang, tidaklah menjadi soal sangat, tapi dalam tempoh 5 hari.

Saya maklumkan kepada Ma mengenai masalah tersebut. Ma juga tidak dapat membantu, memandangkan Ma sebagai jemaah yang telah terpilih sudah tentunya memerlukan lebihan wang di dalam akaun tabung haji sebagai persiapan untuk sebarang kemungkinan di Tanah Suci nanti.
Sehari dua, saya termangu-mangu tidak tahu apa yang perlu dibuat. Mahu dibuat pinjaman, siapa pula akan hulurkan jumlah tersebut memandangkan semua rakan-rakan saya juga pekerja biasa seperti saya yang tidak punya wang simpanan yang banyak. Apatah lagi wang perlu disediakan dalam kadar yang segera.

Saya utarakana masalah tersebut kepada seoarang sahabat saya. Kemudian dia memberi cadangan, kenapa tak keluarkan duit dari simpanan KWSP. Sebab KWSP sekarang memberi kemudahan untuk mengeluarkan simpanan untuk kegunaan memenuhkan Akaun Tabung Haji.dengan syarat, individu tersebut memang telah terpilih untuk tunaikan Haji pada tahun tersebut.

Saya sedikit lega. Benarkah?. Harapan kembali pulih. Saya pun membuat semakan melalui internet mengenai pengeluaran duit KWSP untuk menunaikan haji. Ya! jawapannya memang ada. Dengan terma dan syarat yang tertentu, pemohon boleh mengeluarkan sejumlah - Maksima 3000.00 rm dari akaun simpanan ke 2.

Saya mencuba cara tersebut. Mengeluarkan duit simpanan KWSP untuk dipindahkan ke akaun Tabung Haji. Setelah diteilti dan saya menepati syarat, maka Alhamdulillah, sejumlah 3000.00 telah dipindahkan ke akaun tabung haji, menjadikan wang simpanan asal yang berjumlah 2000.00 menjadi 5000.00. Bermaksud saya perlu mencari 4980 ringgit lagi untuk menggenapkan nilai.Sedangkan waktu semakin suntuk.

Tapi kalau memang sudah ditetapkan rezeki. Dari arah mana-mana sekalipun Allah akan tunjukkan jalan. Adik saya yang berada di Kepong menelefon saya untuk membantu. Dia juga baru keluarkan duit dari KWSP atas tujuan pembelian rumah. Jadi katanya, mahu tak kalau dia pinjamkan dahulu duit sebanyak nilai yang saya perlu. AllahuRabbi. Bagai orang mengantuk disorongkan bantal. Serta merta tanpa berfikir panjang saya setuju. Alhamdulillah... Duit simpanan akhirnya cukup pada saat-saat kecemasan. Pada minit-minit terakhir tempoh 5 hari yang diberikan. Ah! Maha Besar Allah yang menentukan rezeki. Saya serahkan borang menerima tawaran untuk menunaikan haji pada hari terakhir tempoh di beri... Alhamdulillah.



bersambung

Monday, May 27, 2013

Siapa pun kita, bagaimana pun kita, hidup kita tetap ditentukan dengan kisaran takdir-takdir Allah. Dan salah satu dari tkadir tersebut digelar Rezeki...

Petang itu saya ketika di tempat kerja, saya mendapat satu panggilan telefon. dari nombor yang tidak dikenali. Tabiat yang tidak berapa elok yang saya ada antaranya ialah saya taidak akan menjawab sebarang panggilan telefon dari nombor yang saya tidak tahu siapa pemiliknya.

Tapi, petang itu saya tergerak untuk menjawab panggilan tersebut...
Lalu si pemanggil pun menceritakan tujuannya menelefon saya. Menceritakan serba sedikit tentang berita penting yang memang perlu disampaikan.

Selesai perbualan kami, yang agak ringkas si pemanggil mematikan talian. Manakala saya masih tergamam. Dada berdegup, roma meremang, sebak, terharu, gembira, seronok. Rasa-rasa tersebut bercampur aduk.

Berita yang disampaikan tadi sangat memeranjatkan. Antara percaya dengan tidak 'Saya terpilih untuk menunaikan Ibadah haji bersama muasasah pada tahun ini'....
Tanpa sedar, mata mula bergenang.
"AllahuAkbar!!. Syukur ya Allah..."

Khabar itu serta merta saya beritahu kepada Ma (emak) yang ketika itu sedang berada di Kuala Lumpur kerana yang terlintas di fikiran saya waktu itu - "Ma kena tahu dulu".

"Syukur Alhamdulillah..." itu ayat yang keluar dari Ma di hujung talian ketika saya khabarkan berita indah itu.
"Lepas ni kita sama-sama kumpulkan duit".. sambung Ma lagi.


Rezeki. Kalau memang telah tertulis ditentukan menjadi hak kita, apa jua halangan ia tetap akan menjadi hak kita. Kalau masih belum ditentukan, apa jua ikhtiar dan usaha selagi masanya belum tiba kita tak akan mendapatnya. Tapi usaha kena sentiasa ada. Azam, Ikhtiar, ikhtiar dan ikhtiar lagi. Berdoalah kemudiannya. Dan bertwakallah. Serah segala-galanya kepada Allah.
Kerna itulah, apabila saya menceritakan pada kenalan-kenalan saya tentang saya terpilih sebagai jemaah yang akan menunaikan haji pada tahun ini ramai yang terkejut dan tertanya-tanya. bagaimana seorang yang diusia saya, boleh dikira sebagai masih muda tiba-tiba mendapat tawaran yang hebat tersebut. Ya! kalau memang sudah rezeki. Walaupun ada berlaku beberapa 'sebab yang menyebabkan akibat' tapi itu adalah cara Allah untuk membuatkan rezeki tersebut sampai kepada saya.

Bila sebut soal rezeki juga, saya terkenangkan Arwah ayah. Sebenarnya, atas ikhtiar dan usaha ayahlah rezeki ini menjadi milik saya. Dia usaha, dia ikhtiar dia berdoa, dia berazam dengan bersungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah rukun Islam yang ke lima ini. Saban tahun ayah menunggu, saban musim dia menanti. Seusai Setiap kali musim haji, hati menjadi sayu. Usia hampir separuh abad, tetapi ayah belum berkesempatan untuk menunaikannya. Namun ayah tidak pernah putus asa, ayah bersama-sama lain umat Islam yang senasib terus berusaha, berazam dan berdoa. Berdikit-dikit dalam berbelanja, menyimpan tenaga, membina kesihatan, menyuburkan cinta, memperhaluskan adab dan akhlak sebagai bekal ke sana suatu hari nanti.

Pernah pada satu tahun, ayah dan ma mendapat surat dari tabung haji yang memberitahu status mereka sebagai yang 'menunggu'. Kami adik beradik mula menaruh harapan yang berbunga-bunga. Ayah dan ma gembira bukan kepalang. Saya sendiri terasa bagai mahu bersorak riang... itulah. Betapa tinggi harapan kami untuk melihat ayah dan ma pergi ke sana. Harapan ayah dan ma lebih-lebih lagi.
Pada tahun tersebut atas nasihat beberapa kenalan, ayah dan ma mula membuat sedikit persediaan. Membuat Pasport antarabangsa, mengambil ubat suntikan di klinik kesihatan. Manalah tahu kalau tahun itu memang benar-benar ayah dan ma di terima pergi ke tanah suci, tidaklah kelam kabut sangat. kerana persiapan telah dibuat.

Namun status 'menunggu' tersebut memang lah untuk terus menunggu. Sehingga hujung Syawal ayah dan ma termasuk kami menunggu. Tiada sebarang jawapan lagi. dan terus diam. Tapi, putaran hidup manusia memang berkisar juga dengan perjalanan takdir Allah yang di gelar Rezeki. Akhirnya, kami semua mendapat tahu nama ayah dan ma tidak termasuk dalam senarai yang terpilih. Kami hampa. kecewa. Ayah redha. Rezekinya masih belum tiba.

 Tapi dalam sabar, ikhtiar dan doa yang berterusan itu, kesihatan ayah makin merosot. Semakin hampir ke waktu yang dinantikan ayah semakin tidak bermaya lemah dan lesu. Ketika kami menyemak senarai nama jemaah melalui internet, nama ayah dan nama Ma diterima sebagai jemaah haji muasaah pada tahun 2013. Hanya tinggal 2 tahun sahaja lagi, kami berdoa adik beradik semoga ayah dan ma diberi kesihatan yang baik untuk waktu itu. Hanya 2 tahun sahaja lagi setelah lama menanti....

Takdir Allah mengatasi segala-galanya. Kita usaha, kita ikhtiar dan berdoa. Berserah dan bertawakal. Sesungguh mana pun kita merancang, Allah juga sebaik-baik perancang. Yang mana setiap rancangan kita juga telah termasuk dalam rancanganNya. Walau apa pun, Allah tahu yang terbaik, Ayah kesihatan ayah yang semakin merosot membawa kepada kematiannya. Ayah dipanggil menemui Allah pada tahun 2012. Hanya setahun sahaja lagi yang tinggal untuk dia menunaikan impiannya.

Sebenarnya, pada tahun tersebut Ma yang bersungguh mahu membawa juga Ayah ke Tanah suci, telah menempah untuk membuat umrah. Nama telah di beri, bayaran telah dibuat kain ihram dan kelengkapan telah tersedia. Ayah dan Ma kalau ikutkan jadualnya, akan berlepas menunaikan umrah pada bulan  April 2013. Pun begitu segala-gala hal urusan hidup kita manusia masih tetap tertakluk dalam rancangan Allah, Ayah di ambil olehNya pada bulan Mac, hanya sebulan sahaja lagi untuk tiba pada tarikh dia menunaikan Umrah. Selagi Allah tidak mengizinkan. Tidak akan berlaku walau satu apa perkara pun.

Kata seorang kenalan, semua usaha ayah selama ini untuk menunaikan rukun islam ke lima itu telah pun Allah kira, bermula dari niatnya, hari daftarnya, ikhtiar-ikhtiarnya, usaha dan doa-doanya Allah tak akan sia-sia kan.

Saya yakin, cinta Allah itu bukan hanya di akhir tujuan, tetapi sudah ada ketika kita melangkah memulakan perjalanan…  Semoga saat kematian datang setelah kita sempat menunaikan Haji atau mati semasa kita sedang berusaha untuk menunaikannya di sana.

Teringat makna haji – ertinya menuju. Haji ertinya menuju Allah, dan bukankah kematian itu juga ertinya menuju Allah – pulang ke rahmatullah? Oh, betapa ramai yang belum pergi tetapi hatinya telah pergi. Dan betapa ramai pula yang telah pergi tetapi hatinya belum? Mudah-mudahan kita tergolong dikalangan mereka yang telah pergi dengan membawa hatinya sekali…

Friday, June 29, 2012

Kaabah aku datang

Ini bukan pengalaman pertama saya pertama menaiki kapal terbang, kerana sebelum ini saya pernah menaikinya untuk menunaikan umrah. Tapi baik pengalaman pertama atau ke dua, ternyata kedua-duanya bukanlah pengalaman yang indah. Kerana apa?... Saya mabuk.
Sejak dari awal pesawat bergerak, memecut laju, menjarakkan tayarnya dari bumi dan meluncur pantas terbang tinggi dan semakin tinggi saya tidak dapat mengelak dari rasa pening dan mual. Dan sepanjang 8 jam penerbangan dari Malaysia ke Jeddah, rasa pening tidak hilang. Saya cuba tidur untuk mengatasi rasa tidak enak tersebut namun keadaan yang agak sempit dan ruang yang tidak berapa selesa membuatkan tidur saya tidak lama. Sekejap-sekejap tersedar, kemudian cuba tidur lagi namun kemudiannya tersedar lagi.  Sesekali pesawat bergegar kecil (orang kata kerana terlanggar awan) membuatkan rasa pening semakin parah. Cuma nasib baik saya tidak muntah.
Tapi saya menganggap itu salah satu dari ujian yang Allah berikan untuk bertemu dengannya untuk menguji rasa sabar.
Tetapi keadaan sedemikian tidaklah berlangsung terlalu lama. Hanya memakan masa 8 jam 35 jam sahaja. Syukur kepada Allah yang memberi ilham kepada manusia untuk membina pesawat seperti itu yang boleh membawa manusia dari KLIA ke King Abdul Aziz Internasional Airport, yang pada dasarnya memakan jarak sejauh 11, 051 KM sekiranya megikut jalan darat dan akan memakan masa lebih kurang 144 jam sekiranya megikut laluan darat yang sama. Manakala akan bergerak sejauh 7068.07 KM dan masa 144 jam boleh disingkatkan menjadi 8 jam 35 minit sahaja mengikut kepecutan di laluan udara.
Ah! betapa syukurnya bila difikirkan masa 144 jam yang terpaksa diambil jika tidak ada pesawat terbang besar tersebut walaupun kena menahan rasa pening dan mual. Tidak dapat sayang bayangkan bagaimana agaknya perjalanan menaiki kenderaan darat yang memakan masa 144 jam.
Lenih tidak terbayang bila mengenangkan umat-umat Islam yang mahu ke mekkah pada satu zaman dahulu ketika tidak ada kemudahan pesawat terbang seperti sekarang. Mereka terpaksa menggunnakan kapal-kapal melalui laluan laut yang ada ketikanya memakan masa selama sebulan lebih.
aKapal terbang besar vcv 282 milik saudi arabian airline mendarat dengan selamat di lapangan terbang jeddah menjelang pukul 7 petang (waktu jeddah).. - bersamaa dengan menjelang pukul 12.00 malam waktu Malaysia. Waktu sudah hampir Maghrib ketika saya dan jemaah-jemaah Felda Travel serta penumpang-penumpang lain menampak turun melalui tangga kapal terbang yang yang tinggi. Sangat berbeza dengan KLIA perkhidmatan di sini.
Menjengahkan muka keluar dari perut pesawat. Bahang panas sangat terasa menujah tubuh dan wajah. Suasana telah samar-samar senja menjelang Maghrib. Namun kehangatan sangat terasa. Dari tangga kapal terbang resedia sebuah bas yang akan membawa kami terus ke Airport jeddah untuk urusan-urusan seterusnya. Setelah semua bersedia, bas yang membawa jemaah-jemaah kami bergerak terus ke arah Airpor Jeddah.
Memasuki semula ke kawasan Airport terasa sedikit lega bila aircond yang terpasang, deras menyamankan badan yang sebentar tadi kepanasan. Waktu Maghrib telah tiba. Azan berkumandang di situ. Kami, lebih-lebih lagi yang baru pertama kali tiba di sini dan langsung tidak tahu hal selok belok di sini kena menurut sahaja kemana ketua leader bergerak. Bimbang tersesat atau terpesong arah nescaya akan menjadi masalah besar kerana pertama - kawasan ini asing. dan kedua - penggunaan bahasa yang berbeza untuk bertanya.
Kami tidak terus menunaikan Solat Maghrib di situ. Kerana Ketua Leader mengarahkan agar di buat solat Jamak Takkhir sebaik tiba di  Makkah nanti.

Kami mula berbaris di bahagian imigresen. Berbaris dalam barisan yang panjang. kerana bukan hanya jemaah kami di situ. Penumpang-penumpang lain juga. Penumpang-penumpang dari pesawat yang lain juga. Dari pelbagai negaraWalaupun agak teratur, tapi di KLIA lebih sistemetik.

Setelah semua urusan di airpot itu selesai. Kami menolak troli membawa beg-beg serta bagasi masing-masing ke pintu keluar. Di luar, sekali lagi hawa panas menejah muka. Untuk saya yang tidak biasa (pertama kali) melalui suasa begini, keadaan ini sangat tidak menyenangkan. Tapi ditahan juga. Lama-kelaam saya akan terbiasa. Kami di bawa ke kawasan luar ke tempat bas yang akan memabawa kami terus ke Tanah suci Makkah. Ketika tiba, bas masih lagi belum tiba di situ. Jadi kami perlu menunggu dulu sehingga bas tiba. Kepanasan mula memedihkan mata. Terasa pedih dan berair seperti dimasuki habuk. Saya tenyeh-tenyeh mata berulang kali. saya perhatikan jemaah-jemaah lain tidak begitu. Hanya saya seorang barangkali yang menghadapi suasana itu.

Berapa lama menunggu. Bas pun tiba. Bagasi dan beg-beg besar kami dipunggah terus ke dalam perut bas
setelah semua urusan selesai di situ. Penumpang/para jemaah telah memenuhi bas. Bas mula bergerak ke arah destinasi utama, yang mana mengikut Mutawwif yang membimbing kami, akan memakan masa selama 4 Jam. Uh! satu selang masa yang agak lama - hampir separuh masa penerbangan kami dari KLIA ke Jeddah yang memakan masa 8 jam. Tapi tidak mengapa. Sambil-smabil itulah kami dapat merehatkan tubuh yang penat dan meghilangkan kepanasan kerana bas tersebut berhawa dingin sambil-sambil mendengar penerangan serta doa-doa dari ustaz Mutawwif yang membibing kami.

Oleh kerana kepenatan. ditambah dengan kepeningan kerana baru tiba dengan Kapal terbang (jetlag). Saya terlena terus sehingga saya sedar kembali ketika bas telah tiba ke Tanah Haram-Tanah Suci Makkah.
Cara pemanduan Bangsa Arab di daerah ini begitu merumitkan. Tidak kira kereta atau bas. Masing-masing mengikut rapat antara satu dengan lain seningga timbul rasa tidak senang yang membimbangkan risau berlaku kemalangan yang tidak diingini. Kenderaannya tidaklah sebanyak (sesesak) kenderaan yang bertali arus di Jalanraya Kuala Lumpur. Tapi, pemandu-pemandu ini (terutama pamandu bas yang membawa kami), sangat gemar membunykan Hon. Tidak terdapat banyak trafic ligt. tidak ada juga polis-polis mengawal lalulintas. Namun begitu, mereka lebih mudah mengalah. Bila di bunyikan Hon, serta merta yang dihadapan memberi laluan. Walaupun begitu, tetap terasa merumitkan.

Tidak berapa jauh, jam besar tinggi dan megah telah kelihatan. Tanda kami semakin hampir. Hati teruja tidak terkata. Semakin hampir, tiang-tiang menara masjidil haram pula jelas di mata. Debaran kian kencang. Di situlah nanti tujuan kami. Tiang-tiang cerucuk ceracak mengganggu suasana. Runtuhan-runtuhan bangunan lama, mencemarkan keadaan. pembangungan pesat sedang berjalan.

Kami tiba di hotel penginpan. Sebuah hotel biasa. Tapi tidak mengapa, bukan yang luar biasa yang kami cari di sini. Cukup sekadar ada tempat untuk berteduh menyimpan barang, berehat dan melelapkan mata yang kepenatan.
 Barang-barang di punggah ke dalam hotel. masing-masing bersama beg masing-masing. Kunci bilik telah diberi. Saya ditempatkan bersama Ustaz Sarif, ustaz yang membawa jemaah kami, yang sdikit tidak upaya kerana baru patah bahagian tangan.  dengan tangang yang bersimen berbalut dan beranduh. Pergerakannya yang selalunya aktif menjadi agak terbatas.
Bersama juga dengan Ustaz Syahrul fadhil - Ketua leader yang memimpin jemaah kami. dan juga seorang Pakcik. Termasuk saya, kami tinggal berempat sebilik.
Baiklah. Lupakan sementara pasal bilik-bilik hotel tempat penginapan.
Sesudah menunanikan solat Isyak yang dijamakkan bersama Maghrib. Sesudah menjamu selera makan malam, sesudah menghilangkan lelah akibat baru tiba, dan bersusah payah sendiri memasukkan bag-bag ke bilik masing-masing. Kami bersedia dengan misi kami ke sini.

Ustaz Mustahir dan pembantunya Ustaz Zubaidi... dua orang ustaz dari Indonesia yang berkhidmat semabgai mutawwai di situ,akan membawa dan membimbing ibadah Umrah kami. Kami bergerak beramai-ramai, memasuki ruangan sesak manusia dari segenap bangsa dan negara berpusu-pusu di jalanraya. yang seperti kami meraka juga menuju ke arah yang sama, dan ke arah bertentengan, namun masih di jalanan yang sam. Waktu telah menjengah ke dinihari. Sekitar pukul 2 pagi. Tapi langsung tidak terasa dingin suasana paginya. Bahang panasnya masih kekal sama tidak kira siang atau malam atau dinihari.

kami bergerak megkori ustaz yang memberi panduan itu dan panduan ini. Menunjukkan cara untuk mencari arah jika tersesat. Lorong-lorong. bangunan-bangunan. Tanda-tanda sebagai petunjuk menentu jalan sehingga kami faham agar tidak kesessatan anadikata bersendirian.

Dari satu lorong sarat manusia, berpusu-pusu megikut dan melawan arus, Dua batang menara Masjidil Haram jelas kelihatan. Cantik bercahaya. hati gembira tidak terkata. Nun tidak jauh di depan, kami akan tiba. Langkah demi langkah. penerangan demi penerangan. kami sampaiu di dataran luas berlantai 'Morzek putih' tanda sudah memasuki perkarangan Masjidil Haram.
Manusia masih tidak surut ke hulu hilir. Malahan semakin sesak.beraneka ragam.

Pertamanya - kami di bawa kebahagian paip air zam-zam. yang disediakan sejuk dingin sedia tadah untuk diminum secara percuma oleh para jemaah pengunjung Masjid berkenaan. Ramai yang beratur menunggu giliran. Dua gelas air Zam-zam sejuk dingin saya teguk. Menghilangkan Dahaga kerana kepanasan. Juga untuk memberi tenaga untuk ibadah yang akan berlangsung sebentar lagi.

Kami bergerak ke pintu utama- Pintu Nombor satu (gate.....) kedudukannya bertentangan dengan menara jam yang besar tingga dan mengah nenunjuk langit.
Dengan lafaz bismilllah... Masjid yang mulia itu kami langkahi masuk. beramai-ramai terus menuju ke dalam. dari situ, dari setiap langkah ke depan, dari celahan tiang-tiang dan lampu-lampu cendaliar bergantungan, dan dari celahan deruan manusia yang terus lalu lalang. Objek itu mula kelihatan. semakin dekat.. semakin hampir.. semakin jelas... semakin dada berdebar kencang.
Akhirnya.. di situ, objek kiub berselimut hitam, Besar, gah dan teramat indah... Kiblat untuk umat Islam seluruh dunia. Ya Allah Ya Tuhan ku... Aku bersyukur yang teramat... Aku benar-benar sebak. Di hadapan ku kini adalah Kaabah. Yang sangat dirindu untuk ditatap oleh setiap orang Islam. MasyaAllah. Subhanallah. Alhamdulillah. Lailahaillah. AllahuAkbar. Tidak sedar, tidak terkawal.. Airmata menitis. Syahdu... Ya Allah ya Tuhan ku.. Terima kasih untuk peluang ini. Terima kasih untuk Rezeki ini.